SYEKH SITI JENAR MENGAPA
MISTERIUS..???
Serial Ziarah Pustaka Walisanga ditutup
dengan ziarah pustaka Syekh Siti Jenar. Apakah dia salah satu dari sekian
banyak wali? Dalam kepustakaan tentang walisanga, posisi sembilan wali ini
berganti-ganti, pembenarannya tentu karena ada yang meninggal, begitu rupa
seringnya sehingga nama-nama lain sebagai wali nubah atau wali pengganti jumlahnya
sampai 21, bahkan ada yang menyebutkan angka 47. Di antara berbagai nama itu
ada yang cukup dikenal seperti Sunan Tembayat, Sunan Wilis, maupun Sunan
Geseng, tetapi ada juga yang sangat jarang terdengar seperti Sunan Kertosono
dan Sunan Padhusan. Sebegitu jauh, meskipun sangat amat terkenal, Syekh Siti
Jenar tidak dianggap sebagai bagian dari lingkaran walisanga - tetapi cerita
yang mana pun tentang walisanga tidak bisa dianggap lengkap tanpa menyebutkan
peranan Syekh Siti Jenar.
Penulis & Fotografer : Seno Gumira
Ajidarma; INTISARI Siapakah Syekh Siti Jenar? meskipun setidaknya Intisari
telah menjejaki yang disebut sebagai - dua kuburan Syekh Siti Jenar,
masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh
Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam
kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah
makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah,
maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi
terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali.
Suatu konstelasi yang sebetulnya juga
merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan
segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan - bahkan sampai
hari ini. Wali yang mencemaskan Dalam
ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh
Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya,
Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai
pengantar: "Di antara ketiga empu
tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai
wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai
versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah.
Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan,
dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar
dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas
penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh
Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam
dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan
sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan. "Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar
dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya
menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam
versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor
cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi
karena sang cacing secara kebetulan
menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali
menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir
Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa
penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat
"cacing-cacing" yang lain adalah kecemasan elite
spiritual-politik di ibu negeri Demak. "Selain dosanya 'menyingkap sang Rahasia'
kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan
syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh
sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling
mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran
dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai
versi tentang 'pengadilan' dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk
dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan
dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah
atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu
bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem
yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj
ke surga."
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh
Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah alam Babad Cerbon, bahwa ketika
para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan
kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di
dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum
bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang
sembilan, istilah "politik dongeng" menegaskan terdapatnya
kepentingan ideologis di balik segenap "sejarah" tersebut. Kesadaran
tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta
historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan
Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika
memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga: "Sudah jelas bahwa Musyawarat
orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua,
sukar kiranya dapat sungguhsungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara
kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu
beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama
abad ke-16)."
Ajaran tentang ada Lantas, ajaran macam
apa sebetulnya, yang dianggap "benar tapi berbahaya", sehingga
penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam
kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai
"ajaran" Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa
di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul,
yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh
syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk
menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh
Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh
Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat
dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh
Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta
indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna "Kematian"
(2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut "ajaran rahasia"
tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder,
Manunggaling Kawula Gusti:Pantheisme dan
Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang
lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan
atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie,
Kediri, pada 1922: Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam
tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama
kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup
lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng
dalam Ada sendiri. Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku
maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa
kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal
yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat
pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan
sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti
Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan
kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan. Dalam
disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini
Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah
Tuhan itu tidak ada, padahal, "Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa
hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide
mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan
ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal
dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri."
Bukan Al-Hallaj, tapi India Syekh Siti
Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj
atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu
ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya
tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj
yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, "Akulah
Kenyataan Tertinggi," yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922
Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi
monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa
jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah
personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang
menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk
dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap
pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran
Syekh Siti Jenar. "Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India.
Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang
dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya
bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang
menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di
mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India. "Akhirnya, juga kematian Siti Jenar -
menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam
versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup
sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari
badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Suksma semesta. Dalam segala
uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun
kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung.
Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari
Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi
tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
"Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita
bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa
keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi
kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai." Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj
yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal
dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap
rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) - itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf.
Dijelaskannya, "Tidak mengherankan,
bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik
Al-Hallaj." Ia pun merumuskan,
"Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah AlHallaj selalu ditampilkan
sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri
Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak.
Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai
seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum
agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari
ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang
riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa."
Lemah Abang serba pinggiran Dengan konteks
pengaruh India dan bukan Islam dalam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas
konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan
Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan "kafir"
terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging
adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun
melawan Sultan Demak - yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan
Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. "Tindakan Sunan Kudus yang sangat
terkenal terhadap 'si bid'ah' Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap
penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu
adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di
Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh." Bahwa Pengging sebelumnya
disebut-sebut sebagai kerajaan "kafir" yang masih berdiri setelah
Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai
representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni
kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa
bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?
SYEKH SITI JENAR pada Masa kerajaan Demak.
Saat
Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499) Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan
kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk
suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat
kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang
membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis
yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka
atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan
falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam
khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan
Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai
kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang
mana ia adalah manusia dansekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali
Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang
bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang
didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar
peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah,
menimbulkan huruhara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh
karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke
tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk
membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat
(ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri). Akan tetapi
kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan
kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur
dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki
Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama
Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro
Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti
Jenar yang beragama Islam. Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh
Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan
Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti
Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan
bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di
tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut,
ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang
menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai
Wali.
Dalam
naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal
dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu
kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku
Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai
murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar,
terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah
Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula
kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara
secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri.
Namun
menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa
Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di
Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging
(Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa
maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung
Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung
Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi
tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja
Brawijaya V (R.Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang
dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R.
Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki
Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat
dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan
Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di
tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja
menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra
dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan
Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali
(ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda,
dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang
benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti
falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta,
Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah
Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa,
yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging,
yaitu kira-kira:
• Siti Jenar yang mengaku mempunyai
sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua
puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud
mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
• Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak
tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa
proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan
itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa
sarana,kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat
diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu,
mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam
dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam
dirinya;
• Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi
dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal
dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan,
berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada
menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu
yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
• Segala sesuatu yang terjadi adalah
ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan
memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan
halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
• Wujud lahiriah
Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, samasama
merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
• Kehendak
angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas
kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi,
bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong
yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
• Bumi langit dan
sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi
najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali
sebagai asalnya, menjadi baru; Dalam
buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
• Tuhan itu adalah
wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti
bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan
warna memancar yang sangat indah; • Siti
Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain (
kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
• Sedangkan mengenai
dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang
suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan
tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang
merupakan wujud Hyang Widi;
• Hidup itu tidak
mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada
mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang
yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
• Jiwa yang bersifat
kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah
suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari
HyangWidi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati
dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe
Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
• Saat diminta
menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu
Satmata;
• Ia menganggap
Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti
bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua
puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan
barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak,
mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud
mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit
dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan
keramah-tamahan;
• Tuhan itu
menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang
hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku
Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan
bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka
ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang
kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan
neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para
pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan
gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi
mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang
berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia
memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia
terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan
raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai
organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia,
menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang
selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Siti Jenar
memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia
bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya
pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap
obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962)
dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawankawannya ialah
tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal
tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia
saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah
salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian
luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga
ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain
sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti
Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia,
flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang
berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan
dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra
Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai
penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan
Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak
hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya
pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan
mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah
penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa
pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang
memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap
"subversif" yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki
Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan
Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti
Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak
yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu
sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti
akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat
kebenaran.
Kaitan ajaran Siti
Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu
diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang
diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu
adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa.
Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual,
menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah
pengalaman pribadi yang bersifat "tak terbatas" (infinite) sehingga
tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain.
Seseorang hanya mungkin mengerti dan
memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa
dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat
dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini
adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu
atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya
Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting
baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara
konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman,
tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti,
yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita
sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia
semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang
disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya
kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan
tindakanrindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan
kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin
Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti
bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada
masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya
atau tidak percaya. Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan
bersama-sama merenungkan kalimat berikut
yang berbunyi : "Janganlah Anda mencela
keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan
Anda itu yang benar sendiri".*
Sidang
para Wali
Sunan Giri membuka musyawarah para wali.
Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan
bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di
masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi
berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat
orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri
kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan
memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya
ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini
kepada
Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan
Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera
menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada
dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri
untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH
maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke
masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada
para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa
dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana
kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan
makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada
perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan
segala ciptaan lainnya.
Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu
benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan
mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah
ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari
percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi
masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat
luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada
masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang
yang baru masuk islam, karena seperti disampaikan di muka bahwa Syeh Siti Jenar
hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa
pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga
diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie. Sebagai berikut :
Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing
ngelmu sajati,
Sayekti
kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh
Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit
ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah
besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya. Hakikat Tuhan
langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya
ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak
boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame
tapa ing panggawe
Iguh
dhaya pratikele
Nukulaken
nanem bibit
Ono
saben galengane
Mili
banyu sumili
Arerewang
dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
Wontên
malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang.
Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking
karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking
pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman
pêjah.
Sarêng
jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar
wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara.
Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita:
Kinanti
Wau
kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing
jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora
saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune
den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi,
manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh denandhêmi, iku panganggone donya,
têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta
pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu
jatmika,neng kaanan ênêng êning.